Suatu Hari sesosok wanita tua menghampiri sebuah toko lalu mengetuk pintu
kaca took tersebut. “Bu… Beli kue saya… Bu… Beli kue saya… Bu… Beli kue saya… dengan penuh pengharapan
nenek tersebut berharap agar kuenya laku terjual. Bu… Beli kue saya… Bu..kue
saya Belum laku satupun… Kalau saya sudah ada yang laku saya tentu tidak berani
untuk mengetuk kaca toko ibu…”
Sayapun persilakan beliau masuk kedalam toko dan duduk. Lalu menyuguhkan segelas
air dan beberapa butir kurma. “Ibu bawa kue apa?”
“Gemblong, bintul, gembleng, getuk Bu.”
Sayapun tersenyum… “Ibu tenang saja, biar saya yang beli kue ibu… Tapi ibu
duduk dulu, minum dulu, istirahat dulu, muka ibu kelihatannya sudah pucat.
Pasti ibu kecapean”
Dia mengangguk menandakan bahwa ia benar merasa kecapean. Ia mengatakan
kepada saya “Kepala saya terasa sakit, Bu.. Pusing, tapi saya harus berusaha
cari uang. Anak saya sakit, suamiku pun sakit, dan di rumah hari ini beras sudah
tidak ada sama sekali. Makanya saya memaksakan diri untuk berjualan,” katanya
sambil memegang keningnya. Air matanya pun mulai menetes dan jatuh.
Saya cuma bisa memberinya sehelai tisu…
“Sekarang untuk mencari sesuap nasi susah, Bu…. Kemarin aja beras tidak beli…
Apalagi sekarang… Katanya bensin naik.. Apa-apa serba naik.. Saya sudah 3 bulan
cuma bisa bikin bubur… Kalau masak nasi tidak cukup untuk dimakan.
Dan hari ini jualan tidak laku, Tiap kali saya tawarkan ke seseorang,
jawabnya maaf tidak jajan dulu. Apa apa serba mahal, katanya uang belanjanya
pada tidak cukup…”
“Anak ibu sakit apa?” Saya bertanya.
“Tidak tau, Bu… Batuknya berdarah…”
Saya terpana mendengar cerita si Ibu. “Ibu, Ibu harus bawa anak Ibu ke
puskesmas. Kan ada BPJS…”
Dia cuma tertunduk. “Saya bawa anak saya pakai apa, Bu? Gendong gak kuat..
.Jalannya jauh… Naik ojek saya tidak punya uang…”
“Ini Ibu kue bikin sendiri?”
“Enggak, Bu… Ini saya ngambil.” jawabnya.
“Terus ibu penghasilannya dari sini aja?”
Dia mengangguk lemah…
“Berapa Ibu dapet setiap hari?”
“Tidak pasti, Bu… Ini kue untungnya kisaran 250-500 perak, bisa dapet Rp4
ribu -12 ribu paling banyak.”
Kali ini air mata saya yang mulai mengalir. “Ibu pulang jam berapa jualan?”
“Jam 2.. .Saya tidak bisa lama lama, Bu.. Soalnya uangnya buat beli beras…
Suami sama anak saya belum makan. Saya tidak mau minta-minta, saya tidak mau
nyusahin orang.”
“Ibu, kue-kue ini tolong ibu bagikan di jalan, dan ini beli beras buat 1
bulan, ini buat 10x bolak-balik naik ojek bawa anak Ibu berobat, ini buat modal
ibu jualan sendiri. Ibu sekarang pulang saja… Bawa kurma ini buat pengganjal
lapar…”
Ibu itu menangis… Dia pindah dari kursi ke lantai, dia bersujud tak sepatah
katapun keluar lalu dia kembalikan uang saya. “Kalau ibu mau beli.. Beli lah
kue saya. Tapi selebihnya tidak bu… Saya malu….”
Saya pegang erat tangannya… “Ibu… Ini bukan buat ibu… Tapi buat ibu saya…
Saya melakukan bakti ini untuk ibu saya, agar dia merasa tidak sia-sia
membesarkan dan mendidik saya… Tolong diterima…” Saya bawa keranjang jualannya.
Saat itu aku memegang lengannya dan saya menyadari dia demam tinggi. “Ibu
pulang ya…”
Dia cuma bercucuran airmata lalu memeluk saya. “Bu.. Saya gak mau ke sini
lagi… Saya malu…. Ibu tidak suka kue jualan saya… Ibu cuma kasihan sama saya…
Saya malu…”
Saya cuma bisa tersenyum. “Ibu, saya suka kue jualan Ibu, tapi saya kenyang…
Sementara di luar pasti banyak yang lapar dan belum tentu punya makanan.
Sekarang Ibu pulang yaa…”
Saya bimbing beliau menyeberang jalan, lalu saya naikkan angkot… Beliau terus
berurai air mata.
**
Mariiiiiii kita budayakan untuk selalu berusaha semaksimal mungkin dalam hidup
kita, jangan mudah menadahkan tangan... memberi dengan bijak, buatlah hidup
lebih bermakna.
Selama badan kita masih sanggup berdiri, kaki sanggup melangkah, pantanglah
untuk berkeluh kesah dan mengasihani diri ..
No comments:
Post a Comment